topmetro.news – Dalam satu minggu ini, Rakyat Indonesia merasakan dukacita karena kecelakaan kapal di Sumatera Selatan, Makassar, dan Danau Toba. GMKI pun mendesak evaluasi terhadap Kemenhub RI.
Pada tanggal 13 Juni 2018, sebuah kapal cepat bermuatan 30 penumpang dilaporkan tenggelam di Sungai Kong Sumsel. Terdapat 27 orang selamat dan tiga meninggal. Pada hari yang sama, terjadi juga kecelakaan kapal di Perairan Makassar. Terdapat 73 penumpang, sebanyak 16 orang di antaranya meninggal dunia, 55 orang selamat.
Dan terakhir pada Hari Senin, 18 Juni 2018, terjadi kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba. Jumlah penumpang diperkirakan 192 orang, hanya 18 orang selamat. Dua ditemukan meninggal, dan sekitar 170-an korban masih hilang dan dalam pencarian.
Kesalahan Prosedur
GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) melihat adanya beberapa kesalahan prosedur dan penanganan yang mengakibatkan banyaknya korban kecelakaan yang meninggal dan hilang, antara lain:
- Kelaiklautan kapal tidak terpenuhi karena kapasitas muatan kapal ternyata melebihi batas maksimal muatan.
- Dalam moda transportasi apa pun, baik darat, laut, dan udara, selalu ada kemungkinan terjadinya resiko kecelakaan di perjalanan. Oleh karena itu ketersediaan alat keselamatan menjadi salah satu syarat penting dalam perjalanan. Namun dari ketiga kecelakaan ini diketahui bahwa jumlah pelampung dan sekoci tidak sesuai dengan jumlah penumpang.
- Ada kesengajaan, ketidaktahuan, ataupun pembiaran dari pihak pemilik kapal, nahkoda, Otoritas Pelabuhan/Unit Pengelola Pelabuhan, dan Syahbandar. Sehingga kapal yang tidak layak berlayar ini dapat tetap berlayar.
- Manajemen keamanan dan keselamatan pelayaran yang sangat lambat dan tidak terintegrasi serta kesadaran tanggap darurat yang minim dari semua unsur lembaga dan masyarakat. Dapat dilihat dari minimnya kapal dan helikopter yang dengan cepat merespon di hari pertama kecelakaan.
- Dalam upaya pencarian dan penyelamatan (search and rescue), waktu adalah komponen penting dalam upaya penyelamatan khususnya dalam kecelakaan di air. Secara khusus tujuan pencarian dan penyelamatan adalah untuk menyelamatkan nyawa korban kecelakaan. Pemberhentian sementara pencarian di hari pertama karena alasan hari yang sudah malam dan kondisi alam adalah keputusan yang tidak bisa ditolerir dan harus dipertanggungjawabkan. Bahkan dikenakan pidana karena secara sengaja membiarkan banyaknya korban yang tidak ditolong.
Pelanggaran UU
Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang pelayaran menyatakan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan. Serta perlindungan lingkungan maritim. Selanjutnya, keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
GMKI melihat bahwa ada pelanggaran terhadap UU No 17 Tahun 2018 tentang pelayaran dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Dimana sistem pelayaran yang melingkupi standarisasi kapal, kelaiklautan kapal, kepelabuhan, standarisasi nakhoda dan awak kapal, manajemen keamanan. Juga keselamatan pelayaran, sistem pencarian dan penyelamatan, serta unsur-unsur lainnya tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Audit Pelayaran
Menyikapi rangkaian kecelakaan kapal di Sumsel, Makassar, dan Danau Toba serta adanya beberapa kesalahan prosedur dan penanganan, dengan ini GMKI menyatakan:
- Dukacita yang mendalam kepada keluarga para korban meninggal dan dukungan serta doa kepada keluarga yang menanti ditemukannya korban-korban yang masih hilang.
- Harus ada audit secara menyeluruh terhadap sistem pelayaran di Indonesia yang sesuai dengan Undang-Undang Pelayaran dan peraturan-peraturan lainnya. Baik dalam sistem pelayaran laut, sungai, dan danau.
- Peristiwa yang terjadi di Sumsel, Makassar, dan Danau Toba masih dalam lingkup arus mudik-balik Lebaran. Membludaknya jumlah penumpang sehingga melebihi kapasitas kapal harus menjadi evaluasi khusus terkait ketersediaan fasilitas moda transportasi khususnya transportasi air di seluruh Indonesia khususnya di luar Jawa.
- Menurut UU Pelayaran, pemerintah bertanggungjawab melakukan pembinaan pelayaran. Yakni pengaturan, pengendalian, dan pengawasan pelayaran. Rangkaian kecelakaan yang terjadi dan banyaknya jumlah korban karena sistem pelayaran yang tidak maksimal menunjukkan adanya kesengajaan, ketidaktahuan, ataupun pembiaran dari instansi yang terkait.
- Untuk memperbaiki sistem pelayaran di Indonesia harus ada perombakan struktural dan fungsional dan yang diprioritaskan adalah orang-orang yang memahami sistem pelayaran. Maka kami meminta perombakan besar-besaran, mulai dari posisi Dirjen Perhubungan Darat dan Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, Basarnas, hingga ke struktur terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
- Harus diberikan pendidikan maritim sejak usia muda kepada masyarakat dan dibangun sistem tanggap darurat serta sistem pencarian dan penyelamatan (search and rescue) yang terintegrasi dan melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat khususnya di daerah rawan bencana/kecelakaan pelayaran. Sehingga apabila di kemudian hari terjadi kecelakaan kapal, masyarakat dapat terlibat aktif dalam tindakan tanggap darurat. Tanpa harus menunggu kedatangan tim SAR dari pemerintah.
Pernyataan sikap GMKI ini ditandatangani Ketua Umum Sahat Martin Philip Sinurat dan Sekum Alan Christian Singkali. (TM-RED)